+Tiga Bulan Tak Melaut
Rabu, 05 November 2014
Foto:Wikipedia
Puluhan Nelayan Desa Bokor Berharap Pihak PT Sara Rasa Beri Kompensasi
Protap Riau.com, Meranti – Sedikitnya sebanyak empat puluh orang nelayan asal dusun tiga desa bantar kecamatan rangsang barat. Sejak tiga bulan terakhir tidak bisa lagi melaut ke pinggiran pantai selat air hitam. Pasalnya, Perairan tempat nelayan mencari nafkah tersebut kini tercemar limbah dari PT Sara Rasa Biomas. Sekiranya perusahaan pengelola kulit batang sagu untuk bahan baku eksport tersebut berkenan memberikan kompensasi kerugian yang mereka alami.
Arduan adalah salah seorang Kepala dusun tiga desa bokor pekan lalu bersama perangkat desa lainnya mengatakan kepada Protap Riau.com ketika memasuki perkampungannya sambil bergumam ardua berkata Sejak tiga bulan terakhir para nelayan asal dusun manggis desa bokor ini sudah tidak ada satupun yang melaut menangkap ikan ke seputaran perairan selat air hitam.
Tepatnya disekitar operasional perusahaan pengelolaan kulit sagu yang tak jauh lokasinya dari gudang Pt National Timber itu.”tutur arduan”.dengan wajah sedih.
Perlu kita ketahui lanjut Arduan lagi, yang didampingi sejumlah perangkat desa,Mulai dari RT/RW hingga dusun, beserta tokoh masyarakat setempat menambahkan. masyarakat asal dusun manggis, sudah bertahun tahun melaut menangkap ikan dipinggiran pantai sungai selat air hitam kecamatan Rangsang Barat kabupaten Meranti. Diperkiranan sebanyak 40-an nelayan.
Dari dahulu, para nelayan asal dusun manggis desa bokor ini, Merupakan nelayan tradisional, maupun nelayan rawai dan gumbang. Hanya saja usaha atau pekerjaan menangkap ikan yang digeluti masyarakat desa ini secara turun temurun kini sudah kandas atau berhenti total.”tutur Arduan”.
Lihat saja, jika kita jalan dari pelabuhan menuju kantor desa bokor, banyak alat tangkap ikan masyarakat, yang kondisinya usang dan robek. akibat dibentangkan saja tanpa digunakan untuk menangkap ikan dilaut, Kondisi ini sudah berlangsung lebih kurang selama tiga bulan terakhir.”Ungkapnya Arduan”.Mengadukan nasib penduduknya yang kehilangan mata pencaharian.
Beda halnya dengan Wawan, Ijan dan lukman. warga dusun tiga desa bokor yang sempat mengadukan nasib periuk nasi mereka agar tetap bisa asap mengepul di tungku perapian ketika istri memasak di rumah kepada Protap Riau.Com ketika di sambangi dipelabuhan desa bokor.”Dulu,kurang lebih tiga tahun lalu,Ketika pihak perusahaan(PT Sara Rasa)melakukan sosialisasi kepada masyarakat desa bokor dikantor desa. kami ingat betul, Jika salah seorang konsultan perusahaan itu mengatakan limbah yang dihasilkan oleh PT Sara Rasa itu, dampaknya sangat bahaya sekali bagi mahluk hidup.
Jika limbah ini tidak dikelola dengan baik dan Propesional, Apa lagi sampai bocor dan mengalir kelaut. Di jamin ikan dan biota air, semuanya akan mati. kalau tidak mati, biota laut yang ada akan pergi jauh dari areal yang tercemar limbah itu.”Keluh Ijan”. Seraya mengingat perkataan salah seorang konsultan perusahaan pada saat itu.
Lain halnya Lukman, Ia mengaku sangat kesal sekali atas belum adanya respon nyata dari pihak PT Sara Rasa. Maupun dari Pemkab Kab.Meranti mengenai persoalan pencemaran limbah yang tengah mereka hadapi. padahal akibat pembuangan limbah ke perairan ini, dampaknya sangat merugikan kita selaku masyarakat nelayan.
Dimana bentuk kepedulian pihak perusahaan maupun pemerintah, terhadap kami masyarakat kecil. kenapa masalah limbah ini kok didiamkan saja, kalau sikap mereka seperti ini. Ini sama saja ingin menyingkirkan kami secara berlahan, kita mohon kepada pemerintah kabupaten kepulauan meranti, agar bersikap tegas dalam menyikapi masalah ini, Kami dibuat tidak bisa lagi mencari makan dikampung kami oleh pihak perusahaan saat ini.”Kata Lukman”. kesal.
Dahulu, ungkap Lukman, sebelum beroperasinya PT sara Rasa biomas dilokasi tersebut, ketika Pt Uniseraya masih beroperasi. kami nelayan terbilang sejahtera, cari ikan kurau pun setiap hari bisa kami dapatkan, bahkan dulu perhari kita paling sedikit bisa menghasilkan uang Rp 200 ribu perharinya.
Sekarang ini cari 20 ribu perharinya sangatlah susah minta ampun.”keluh Lukman”.
Semoga ini bisa jadi pertimbangan oleh pemerintah kabupaten Meranti kami mau cari makan dimana setelah lokasi tempat kami mencari ikan Sudah tidak bisa lagi menghasilkan ikan guna kami jual untuk penuhi kebutuhan hidup keluarga. mau minta kerja ke perusahaan, sulitnya minta ampun, di karenakan banyaknya tenaga kerla asal luar daerah yang bekerja dilokasi tersebut. atau apakah perlu kami turun lakukan aksi dahulu baru jadi perhatian pemkab meranti, ini mohon dijadikan pertimbangan buat pemerintah kab.Meranti saat ini.”kesal Lukman”.Defri
Comment