Rabu,19 November 2014
(Dari kiri) Brigadir Polisi Avvy Olivia, Briptu Eka Frestya, dan Inspektur Polisi Satu Eny Regama di kantor gedung National Traffic Management (NTMC) , Cawang, Jakarta, Rabu 29 Agustus 2012. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Protap Riau.Com, Jakarta – Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes) Polri Brigadir Jenderal Arthur Tampi mengatakan tes keperawanan atau keperjakaan bukan fokus utama dalam ujian masuk kepolisian. Tes itu hanya sebagian kecil dari tes yang dilakukan sebagai ujian kesehatan secara keseluruhan.
“Kami kan melakukan tes dari ujung kepala hingga ujung kaki,” katanya kepada Tempo, Rabu, 19 November 2014. (Polri: Calon Polwan Tak Perawan Bisa Lulus Seleksi)
Heboh soal tes keperawanan bagi calon polwan bermula dari rilis Human Rights Watch. Lembaga ini mewawancarai delapan polwan dan pelamar polwan di enam kota di Indonesia yang telah menjalani tes keperawanan. Enam kota itu adalah Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Padang, Medan, dan Makasar.
Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, sebelumnya mengatakan responden yang mereka wawancarai menyatakan tes keperawanan dilakukan dengan metode tes dua jari. “Dikatakan tes dua jari,” ujar Andreas.
Dari hasil wawancara Human Rights Watch, Andreas bercerita, salah satu polwan menjelaskan bagaimana praktek tes keperawanan yang dialaminya. Para perempuan itu biasanya masuk ke sebuah ruangan satu per satu. “Mereka diperiksa oleh dokter wanita dengan memasukkan jari dokter yang sudah terbungkus sarung tangan ke dalam vagina pasien,” tuturnya.
Dalam rilisnya, Human Rights Watch menjelaskan tentang apa yang dirasakan oleh para wanita itu. “Rasanya sakit sekali. Bahkan teman saya ada yang sampai pingsan. Saya sangat malu sekali karena di dalam ruangan tidak tertutup,” katanya. Menurut Andreas, banyak yang mengalami trauma atas pemeriksaan seperti itu.
Selanjutnya, metode tes dua jari untuk uji keperawanan dinilai salah.(TMP/DK)
Comment